Yang dimaksud dengan atlet elit dalam tulisan ini adalah atlet setaraf atlet nasional yang telah memiliki prestasi dalam olahraga yang ditekuninya. Untuk dapat meningkatkan prestasi atau performa olahraganya, sang atlet perlu memiliki mental yang tangguh, sehingga ia dapat berlatih dan bertanding dengan semangat tinggi, dedikasi total, pantang menyerah, tidak mudah terganggu oleh masalah-masalah non-teknis atau masalah pribadi.
Dengan demikian ia dapat menjalankan program latihannya dengan sungguh-sungguh, sehingga ia dapat memiliki fisik prima, teknik tinggi dan strategi bertanding yang tepat, sesuai dengan program latihan yang dirancang oleh pelatihnya. Dengan demikian terlihatlah bahwa latihan mental bertujuan agar atlet dapat mencapai prestasi puncak, atau prestasi yang lebih baik dari sebelumnya.
Untuk dapat memiliki mental yang tangguh tersebut, atlet perlu melakukan latihan mental yang sistimatis, yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari program latihan olahraga secara umum, dan tertuang dalam perencanaan latihan tahunan atau periodesasi latihan.
Seringkali dijumpai, bahwa masalah mental atlet sesungguhnya bukan murni merupakan masalah psikologis, namun disebabkan oleh faktor teknis atau fisiologis. Contohnya: jika kemampuan atlet menurun karena faktor kesalahan teknik gerakan, maka persepsi sang atlet terhadap kemampuan dirinya juga akan berkurang. Jika masalah kesalahan gerak ini tidak segera teridentifikasi dan tidak segera diperbaiki, maka kesalahan gerak ini akan menetap. Akibatnya, kemampuan atlet tidak meningkat, sehingga atlet menjadi kecewa dan lama kelamaan bisa menjadi frustrasi bahkan memiliki pikiran dan sikap negatif terhadap prestasi olahraganya.
Demikian juga dengan masalah yang disebabkan oleh faktor fisik. Masalah yang seringkali terjadi adalah masalah “overtrained” atau kelelahan yang berlebihan, sehingga menimbulkan perubahan penampilan atlet yang misalnya menjadi lebih lambat, sehingga atlet tersebut kemudian di’cap’ sebagai atlet yang memiliki motivasi rendah.
Kedua contoh tersebut menunjukkan bahwa masalah mental tidak selalu disebabkan oleh faktor mental atau faktor psikologis. Jika penyebab masalahnya tidak terlebih dahulu diatasi, maka masalah mentalnya juga akan sulit untuk dapat diperbaiki. Dengan demikian, jika akan menerapkan latihan mental untuk mengatasi masalah mental psikologis, maka atlet, pelatih maupun psikolog olahraga harus pasti bahwa penyebab masalahnya adalah masalah mental.
Apakah yang diperlukan atlet untuk menjalani latihan mental?
Adanya perubahan tingkah laku, perasaan atau pikiran atlet yang mengganggu si atlet itu sendiri atau mengganggu kelancaran pelatihan atau komunikasi antara atlet dengan orang lain, merupakan salah satu indikasi bahwa atlet tersebut mengalami disfungsi atau masalah psikologis. Namun, sebelum memastikan bahwa masalah tersebut disebabkan oleh faktor psikologis, perlu secara cermat dianalisis kemungkinan adanya penyebab faktor teknis atau fisiologis. Jika penyebab utamanya ternyata adalah faktor teknis atau fisik, maka faktor-faktor tersebutlah yang perlu dibenahi terlebih dahulu. Masalah mental psikologisnya akan sulit teratasi jika penyebab utamanya tidak ditangani.
Setelah dipastikan bahwa seorang atlet mengalami masalah mental psikologis, atau perlu meningkatkan keterampilan psikologisnya, maka kepada atlet tersebut dapat diterapkan latihan mental. Ada tiga karakteristik yang sebaiknya terdapat pada diri atlet yang akan menjalani latihan mental, yaitu:
1. Si atlet harus mau menjalani latihan mental tersebut.
Jika suatu tugas dihadapi dengan sikap positif, maka potensi keberhasilannya akan semakin nyata. Sebaliknya, jika si atlet malas melakukan latihannya, maka kegagalan akan menghadang. Oleh karena itu, si atlet sendiri yang harus memutuskan bahwa ia mau menjalani setiap program latihan sampai selesai, dan harus yakin bahwa latihan tersebut akan membawa manfaat bagi kemajuan prestasinya. Tanpa adanya komitmen tersebut, atau jika atlet merasa terpaksa dalam menjalankan latihannya, maka manfaat dari hasil latihan yang dijalaninya akan sirna.
2. Atlet harus menjalankan setiap program latihan secara utuh.
Keuntungan atau manfaat dari latihan mental hanya akan terasa jika atlet menjalankan seluruh program latihan secara utuh, tidak sepotong-sepotong. Serupa dengan latihan keterampilan fisik, maka proses latihan mental pun harus dilakukan berulang-ulang; karena itu ia memerlukan waktu, usaha, maupun umpan balik dari kemajuan suatu latihan.
3. Si atlet harus memiliki kemauan untuk menjalani latihan dengan sempurna, sebaik mungkin.
Setiap program latihan mental telah dirancang secara terstruktur sehingga seluruh kegiatannya memiliki fungsi dan manfaat masing-masing. Termasuk seluruh penugasan dan evaluasi atau penilaian diri yang harus dilakukan oleh si atlet, merupakan bagian dari program latihan mental yang tidak boleh diabaikan. Latihan mental merupakan suatu proses yang harus dijalani sesuai prosedur, karena itu tidak ada jalan pintas untuk mencapai prestasi dalam olahraga.
Apa sajakah yang tercakup dalam latihan mental?
Aspek-aspek kecakapan mental psikologis (psychological skills) yang bisa dilatih, mencakup banyak hal meliputi aspek-aspek pengelolaan emosi, pengembangan diri, peningkatan daya konsentrasi, penetapan sasaran, persiapan menghadapi pertandingan, dan sebagainya. Bentuk latihan kecakapan mental yang paling umum dilakukan oleh atlet elit adalah:
1. Berfikir positif.
Berfikir positif dimaksudkan sebagai cara berfikir yang mengarahkan sesuatu ke arah yang positif, melihat segi baiknya. Hal ini perlu dibiasakan bukan saja oleh atlet, tetapi terlebih-lebih bagi pelatih yang melatihnya. Dengan membiasakan diri berfikir positif dapat menumbuhkan rasa percaya diri, meningkatkan motivasi dan menjalin kerjasama antara berbagai pihak. Pikiran positif akan diikuti dengan tindakan dan perkataan positif pula, karena pikiran akan menuntun tindakan.
2. Membuat catatan harian latihan mental (mental log).
Catatan latihan mental merupakan catatan harian yang ditulis setiap atlet selesai melakukan latihan, pertandingan, atau acara lain yang berkaitan dengan olahraganya. Dalam buku catatan latihan mental ini dapat dituliskan pikiran, bayangan, ketakutan, emosi, dan hal-hal lain yang dianggap penting dan relevan oleh atlet. Catatan ini semestinya dapat menceritakan bagaimana atlet berfikir, bertindak, bereaksi, juga merupakan tempat untuk mencurahkan kemarahan, frustrasi, kecewa, dan segala perasaan negatif jika melakukan kegagalan atau tampil buruk. Dengan melakukan perubahan pola pikir akan hal-hal negatif tadi menjadi positif, atlet dapat menggunakan catatan latihan mentalnya sebagai “langkah baru” — setelah anda mengalami frustrasi, keraguan, ketakutan, ataupun perasaan berdosa/bersalah – untuk kembali membangun sikap mental yang positif dan penuh percaya diri.
3. Penetapan sasaran (goal-setting).
Penetapan sasaran (goal-setting) perlu dilakukan agar atlet memiliki arah yang harus dituju. Sasaran tersebut bukan melulu berupa hasil akhir (output) dari mengikuti suatu kejuaraan. Penetapan sasaran ini sedapat mungkin harus bisa diukur agar dapat melihat perkembangan dari pencapaian sasaran yang ditetapkan. Selain itu pencapaian sasaran ini perlu ditetapkan sedemikian rupa secara bersama-sama antara atlet dan pelatih. Sasaran tersebut tidak boleh terlalu mudah, namun sekaligus bukan sesuatu yang mustahil dapat tercapai. Jadi, sasaran tersebut harus dapat memberikan tantangan bahwa jika atlet bekerja keras maka sasaran tersebut dapat tercapai. Dengan demikian penetapan sasaran ini sekaligus dapat pula berfungsi sebagai pembangkit motivasi.
4. Latihan relaksasi.
Tujuan daripada latihan relaksasi, termasuk pula latihan manajemen stres, adalah untuk mengendalikan ketegangan, baik itu ketegangan otot maupun ketegangan psikologis. Ada berbagai macam bentuk latihan relaksasi, namun yang paling mendasar adalah latihan relaksasi otot secara progresif. Tujuan daripada latihan ini adalah agar atlet dapat mengenali dan membedakan keadaan rileks dan tegang. Biasanya latihan relaksasi ini baru terasa hasilnya setelah dilakukan setiap hari selama minimal enam minggu (setiap kali latihan selama sekitar 20 menit). Sekali latihan ini dikuasai, maka semakin singkat waktu yang diperlukan untuk bisa mencapai keadaan rileks. Bentuk daripada latihan relaksasi lainnya adalah “autogenic training” dan berbagai latihan pernapasan. Latihan relaksasi ini juga menjadi dasar latihan pengendalian emosi dan kecemasan. Latihan relaksasi dapat pula dilakukan dengan bantuan alat seperti “galvanic skin response”, “floatation tank”, dan juga berbagai paket rekaman kaset latihan relaksasi yang mulai banyak beredar di pasaran.
5. Latihan visualisasi dan imajeri.
Latihan imajeri (mental imagery) merupakan suatu bentuk latihan mental yang berupa pembayangan diri dan gerakan di dalam pikiran. Manfaat daripada latihan imajeri, antara lain adalah untuk mempelajari atau mengulang gerakan baru; memperbaiki suatu gerakan yang salah atau belum sempurna; latihan simulasi dalam pikiran; latihan bagi atlet yang sedang rehabilitasi cedera. Latihan imajeri ini seringkali disamakan dengan latihan visualisasi karena sama-sama melakukan pembayangan gerakan di dalam pikiran. Namun, di dalam imajeri si atlet bukan hanya ‘melihat’ gerakan dirinya namun juga memberfungsikan indera pendengaran, perabaan, penciuman dan pengecapan. Untuk dapat menguasai latihan imajeri, seorang atlet harus mahir dulu dalam melakukan latihan relaksasi.
6. Latihan konsentrasi.
Konsentrasi merupakan suatu keadaan dimana kesadaran seseorang tertuju kepada suatu obyek tertentu dalam waktu tertentu. Dalam olahraga, masalah yang paling sering timbul akibat terganggunya konsentrasi adalah berkurangnya akurasi lemparan, pukulan, tendangan, atau tembakan sehingga tidak mengenai sasaran. Akibat lebih lanjut jika akurasi berkurang adalah strategi yang sudah dipersiapkan menjadi tidak jalan sehingga atlet akhirnya kebingungan, tidak tahu harus bermain bagaimana dan pasti kepercayaan dirinya pun akan berkurang. Selain itu, hilangnya konsentrasi saat melakukan aktivitas olahraga dapat pula menyebabkan terjadinya cedera. Tujuan daripada latihan konsentrasi adalah agar si atlet dapat memusatkan perhatian atau pikirannya terhadap sesuatu yang ia lakukan tanpa terpengaruh oleh pikiran atau hal-hal lain yang terjadi di sekitarnya. Pemusatan perhatian tersebut juga harus dapat berlangsung dalam waktu yang dibutuhkan. Agar didapatkan hasil yang maksimal, latihan konsentrasi ini biasanya baru dilakukan jika si atlet sudah menguasai latihan relaksasi. Salah satu bentuk latihan konsentrasi adalah dengan memfokuskan perhatian kepada suatu benda tertentu (misalnya:nyala lilin; jarum detik; bola atau alat yang digunakan dalam olahraganya). Lakukan selama mungkin dalam posisi meditasi.
Kapan sebaiknya atlet melakukan latihan mental?
Latihan mental dilakukan sepanjang atlet menjalani latihan olahraga, karena seharusnya latihan mental merupakan bagian tidak terpisahkan dari program latihan tahunan atau periodesasi latihan. Latihan-latihan tersebut ada yang memerlukan waktu khusus (terutama saat-saat pertama mempelajari latihan relaksasi dan konsentrasi), namun pada umumnya tidak terikat oleh waktu sehingga dapat dilakukan kapan saja.
Demikian sekilas uraian mengenai latihan mental bagi atlet elit, dengan harapan para atlet, pelatih maupun pembina olahraga semakin menyadari bahwa latihan mental sangat diperlukan untuk mendapatkan prestasi puncak, dan untuk melakukan latihan mental tersebut diperlukan proses dan alokasi waktu tersendiri. Selamat berlatih, semoga sukses mencapai prestasi puncak.
Oleh : Dra. Yuanita Nasution, M.App.Sc., Psi*
* Penulis adalah psikolog yang berkecimpung dalam bidang olahraga, berdinas di Pusat Pengembangan Kualitas Jasmani DEPDIKNAS sebagai Peneliti Muda bidang Psikologi Olahraga dan Kesehatan; menjabat pula sebagai Sekretaris Ikatan Psikologi Olahraga; Kabid Litbangrapiptek PP PERPANI; serta Ketua KomisiPendidikan dan Penataran KONI Pusat.
Referensi
Nasution, Y. (2003). Latihan konsentrasi. Bahan diskusi psikologi olahraga bagi pelatih dalam rangka Pelatnas SEA Games tahun 2003.
Nasution, Y. (2007). Psikologi kepelatihan. Makalah dalam rangka Pelatihan Mantan Atlet untuk Menjadi Pelatih Olahraga Tingkat Dasar Tahun 2007.
Rushall, B. (2007). Mental skills training for serious athletes. http://members.cox.net/brushall/mental/explain.htm
7 CARA MENGATASI KEMARAHAN
KOMPAS.com — Sifat gampang marah ternyata bisa diubah, demikian pendapat para peneliti kesehatan mental. Pada salah satu penelitian berhasil ditemukan bahwa risiko serangan jantung bisa ditekan dengan mengurangi rasa marah. Bagaimana cara mengurangi keinginan untuk marah supaya tidak lekas jantungan?
1. Rajin berolahraga secara teratur dapat mengurangi stres dan memperbaiki suasana hati sehingga bisa mengatasi naik turunnya emosi. Yoga dan olahraga yang membuat rileks efektif untuk mengatasi sifat mudah marah.
2. Tanyakan kepada diri sendiri apakah dengan marah-marah akan bermanfaat juga buat orang-orang di sekitar Anda. Misalnya, tanyakan “Apakah saya dapat mengontrol situasi ini? Dapatkah saya mengubahnya menjadi lebih baik dengan marah-marah?”
3. Atasi ketegangan dengan mengambil beberapa napas dalam dan membuat otot-otot rileks. Bisa juga dengan mendengarkan musik lembut atau memvisualkan diri sendiri tengah berlibur di tempat favorit.
4. Periksa lagi bagaimana cara Anda berkomunikasi dengan orang lain. Banyak situasi yang menyulut kemarahan melibatkan orang lain. Saat diskusi menjadi panas dan membuat marah, hitung sampai 10 sebelum bicara. Ambil napas terlebih dahulu. Dengarkan lawan bicara secara seksama.
5. Coba sisipkan humor karena terbukti efektif meredakan kemarahan.
6. Cari alternatif, apakah Anda hanya marah-marah pada situasi tertentu? Selama beberapa minggu, buat catatan kapan dan di mana Anda biasa marah-marah. Kemudian lihat apakah ada kecenderungan tertentu yang memicu kemarahan.
7. Pertimbangkan konseling bila perlu. Ceritakan pada dokter soal kebiasaan Anda ini. Dokter itu akan merujukkan Anda pada orang yang ahli. @ Retino
0 komentar:
:a: :b: :c: :d: :e: :f: :g:
:h: :i: :j: :k: :l: :m: :n: :o: :p:
Posting Komentar