Recent Post

Kamis, 02 Desember 2010

Seimbangkan antara Academic dan Character building

Pelaksanaan Ujian Akhir Nasional  (UAN) dan Status sekolah saat ini adalah prioritas pemerintah. Hal ini menunjukkan kuantisasi hanya pada aspek kognitif saja.

Pembinaan dan penyediaan sarana pengembangan aspek afektif (nilai moral dan sosial) dan psikomotor (ketrampilan) yang banyak datang dari kegiatan ekstrakurikuler kurang mendapatkan perhatian. Akibatnya di beberapa sekolah banyak kegiatan ekstrakurikuler ditiadakan. Tidak tersedia dana operasional (BOS) adalah salah satu alasan. Pihak sekolah  -dilain pihak- takut menarik biaya dari orangtua siswa. Komite orangtua siswa yang semula menjadi andalan dan “jembatan” anatara kebutuhan dan kemampuan siswa banyak ditemui mandul.


Dari hasil penelitian dikatakan bahwa keberhasilan seseorang di masyarakat 80% ditentukan dari kecerdasan emosi (EQ) dan 20% ditentukan oleh faktor kecerdasan kognitip (IQ)  (Ratna Megawangi).


Apa pentingnya kegiatan Ekstrakurikuler?

Setiap individu mendapat pendidikan melalui cara saat ia meluangkan waktunya dan situasi ketika ia dilibatkan, atau dalam peristiwa yang seketika dialaminya.

Artinya pendidikan nilai berlangsung melalui sejumlah kejadian yang tidak terduga, seketika, sukarela, dan spontanitas – yang tidak mungkin ditemukan didalam kelas.Semua tidak direncanakan sebelumnya, tidak dikondisikan secara sengaja dan dapat terjadi kapan saja. Penggalan – penggalan peristiwa seperti itu merupakan hidden curriculum yang dalam kasus pengalaman tertentu dapat berupa suatu kejadian kritis (critical incident) yang mampu mengubah tatanan nilai dan perilaku seseorang (peserta didik).


Saatnya pemerintah mulai menjaga keseimbangan antara academic building dan characater building. Dilain pihak pengelolaan kegiatan ekstrakurikuler agar terus melakukan upaya perbaikan dan menjujung tinggi profesionalisme.


Hukuman fisik pada anak/atlit


Pemberian hukuman fisik, seperti push-up beberapa kali, atau berlari dengan tambahan waktu/jarak karena anak misalnya terlambat datang latihan masih menjadi pilihan pelatih. Pelatih menganggap bahwa hukuman fisik akan membuat kebiasaan buruk anak hilang. Membuat anak jera atau “kapok” adalah pesan yang ingin disampaikan oleh pelatih padahal kebiasaan buruk yang dihubungkan dengan hukuman fisik malah berakibat rusaknya kinerja anak karena :

1. Anak akan menganggap aktifitas fisik adalah hukuman;


2. Tambahan waktu atau beban latihan fisik bagi sebagian anak – dan

juga atlit- dirasakan sebagai kegiatan yang menyenangkan. Dari

pengalaman kami pernah ketika seorang siswa dihukum push-up

beberapa temannya tertarik dan minta ijin untuk ikut push-up.


3. Secara psikologis tujuan hukuman fisik tidak langsung berhubungan

dengan perilaku buruknya, misalnya terlambat datang karenanya

tindakan ini sama sekali tidak akan mengubah anak berperilaku ke

arah positif.


Hukuman fisik adalah cara kuno yang sudah harus ditinggalkan oleh orangtua, guru termasuk pelatih olahraga karena

1. Aktifitas fisik adalah kegiatan yang menyenangkan. Latihan fisik yang

diasosiasikan dengan hukuman akan menimbulkan kebingungan.

Apabila suatu waktu memang diperlukan latihan fisik tambahan maka

anak atau atlit akan menurun motivasinya.


2. Tujuan hukuman adalah untuk mencegah terjadinya perilaku yang

tidak diharapkan karenanya hukuman hendaknya merupakan

pengalaman yang tidak menyenangkan (sosial). Misalnya karena anak

sering terlambat datang atau tidak hadir latihan atau tindakan

indisipliner lainnya maka ia sebagai konsekuensinya tidak

diikutsertakan dalam  games/permainan kelompok atau bertanding

pada suatu kompetisi.


WASPADA AMBISI PRESTASI PADA ANAK


Hanya 2 diantara 10 pelatih peduli dengan pembentukkan kepribadian, etika dan moral anak saat dia memilih menjadi atlit.


Apa harapan anda pada putra/putri anda dalam kegiatan olahraganya?  Menjadi terbaik,  juara dan meraih medali ?


Apakah anda yakin anak anda siap kompetisi? Dan medali-medali yang mereka peroleh apakah itu tujuan mereka? Atau itu semua  hanya ambisi anda sebagai orang tua?


Apakah anda tanpa sadar mengorbankan kegemarannya berolahraga?


Menurut anda, apa yang hilang dari seorang juara ketika ternyata ia berperilaku yang sama sekali jauh dari tujuan olahraga?


Atlit dan pelatih Kuba melakukan penganiayaan kepada wasit pada arena olahraga terhormat dunia – Olimpiade.

Inikah hasil dari olahraga kompetisi?


Curang demi prestasi ? Taekwondo bukan lagi alat  pembentukan karakter.


Sudah takdirnya kalau orangtua selalu menginginkan yang terbaik buat putra/putrinya. Dan inilah salah satu alasan mengapa banyak orangtua mendaftarkan anaknya ikut kegiatan olahraga – termasuk Taekwondo.


Ternyata semua percaya dan yakin bahwa partisipasi pada olahraga akan membuahkan karakter positif.

Orangtua yang anaknya ikut kompetisi pada satu cabang olahraga akan terus menerus berusaha meng klarifikasi nilai positif yang didapat anaknya apalagi setelah anak ia mendapat sebutan baru dari klubnya : atlet. Akan ditambah lagi saat medali sudah dikalungkan. Toh sebutannya juga sudah bertambah : juara.


“Kepercayaan” ini saya yakin sudah berumur lebih tua dari umur saya. Namun pada kenyataannya riset mengenai partisipasi olahraga prestasi dalam membangun karakter terlalu sedikit dan kita, bahkan malah sering menemukan bukti yang sebaliknya.


Berita pengunaan obat-obatan pemacu pertumbuhan serat otot (anabolic steroids) oleh atlet yang jelas-jelas dilarang dan berbahaya selalu saja menghiasi halaman koran saat ada pesta olahraga baik tingkat dunia maupun di Indonesia.


Pada pesta olahraga tingkat dunia Olimpiade Beijing kita semua terperanjat melihat ulah atlet Kuba yang menganiaya wasit di arena Taekwondo. Bukan cuma itu, coach-nya pun ikut juga memperagakan cara protes yang tidak dikenal dalam peraturan pertandingan taekwondo. Inikah hasil latihan selama ini ?


Perkelahian antar ofisial, kontestan, pemukulan wasit dan cara-cara protes yang kurang sepantasnya dalam pertandingan Taekwondo juga kerap mengisi halaman koran mulai dari tingkat daerah sampai ke tingkat nasional.

Dalam taekwondo kecurangan bahkan sudah dilakukan sebelum bertanding. Bukan rahasia lagi di kalangan masyarakat Taekwondo untuk menghalalkan segala cara demi kemenangan seperti pemalsuan umur, pemalsuan sertifikat, perpindahan atlet antar daerah (karena iming-iming daerah kaya).


Curang saat pertandingan Taekwondo dalam beberapa kasus sering disebut sebagai strategi. Semacam dosa tapi dosa putih. Berikut beberapa diantaranya : mulai dari yang sebatas pura-pura cedera, menendang bagian terlarang, menyerang dengan tujuan merusak sampai meng-intimidasi wasit. Yang terakhir ini biasanya dilakukan oleh suporter.


Apakah berbuat curang masih menjadi kata yang paling memalukan dalam pembinaan Taekwondo kita ? Maaf, sangat diragukan. Kita tentu pernah mendengar salah satu slogan olimpiade yang terkenal  “Fair Play”. Slogan ini mungkin sudah tidak berarti apa-apa lagi sekarang. Sekarang pilihan kita tinggal dua : menutup atau membuka mata. Terserah namun pastikan anda menggunakan mata hati anda.


Fakta-fakta diatas hanyalah sebagian dari contoh kegagalan kita sebagai masyarakat olahraga – khususnya Taekwondo  – dalam ikut berperan membentuk karakater bangsa.


Kenapa karakter itu penting? Kita tentu masih ingat kerusuhan di Jakarta dan beberapa kota di Indonesia tahun 1998 bukan? Dari bangsa yang bermartabat dan rakyat yang terkenal ramah dan penuh senyum sekejap kita menjadi bangsa yang kerdil, penuh dendam,permusuhan dan kebencian.

Budaya korupsi adalah bukti bagian dari gagalnya pendidikan karakter bangsa ini. Korupsi ternyata melingkup karakter negatif seperti : ketidak jujuran, ketidak disiplinan dan menghalalkan segala cara. Hasilnya, peringkat korupsi kita pada 2002 menjadi nomor satu ! (Data Transparancy International 2002).


Pertanyaannya sekarang adalah, apakah Taekwondo masih dapat diandalkan menjadi alat pembentuk karakter siswa putra-putri kita?


Pernahkah  kita membayangkan bahwa kesenangan berolahraga anak telah kita hancurkan hanya demi medali ? Bagi beberapa pelatih dia hanya mengenal satu alat ukur : medali. Tidak penting siapa atletnya tapi apa prestasinya.


Saya pernah mendapat wejangan dari seorang pembina olahraga yang menyatakan tidak penting apakah atlet itu narapidana sekalipun tapi jika dia berpotensi emas maka atlet itu dengan usaha apapun harus menjadi tim daerahnya.


Berlatih Taekwondo bagi anak seyogyanya memberinya keterampilan untuk hidup mengenal arti kuat dan lemah diri , membangun percaya diri dan tentunya terampil beladiri. Dilain pihak bagi tugas orangtua mendampingi anak dalam olahraga prestasi adalah untuk memastikan perkembangan putra/putrinya serta menjamin ia berlatih dengan hati yang senang.


Akan datang waktunya kita melihat siswa atau putra/putri kita berkembang jauh diatas rata-rata siswa lain dan ia berbakat maka pastikan ia menang karena ia memang pantas menang bukan karena main curang.

Olahraga – termasuk Taekwondo – jika dilakukan dengan benar kami percaya secara bertahap akan menanamkan kejujuran, rasa hormat dan dasar moral karakter yang terbaik bagi siapapun yang mempelajarinya.

Source : Matra Taekwondo School

    * Bahwa cara terbaik untuk memperkenalkan olahraga kepada anak-anak adalah melalui kegiatan fisik.

    * Melalui permainan kami telah membuat aktivitas fisik yang menyenangkan dan sehat.

    * Tubuh yang sehat adalah hadiah terbaik yang harus kita sediakan untuk anak-anak kita serta gaya hidup yang sehat.

    * Bahwa kita harus membimbing anak-anak dengan etika moral, empati, rasa hormat, dan kepedulian.

    * Kami mengembangkan pelatihan yang memungkinkan anak-anak untuk berkomunikasi, bermain dan melatih bersama-sama, sementara pada saat yang sama memperkenalkan mereka kepada konsekuensi dan pilihan.

    * Anak-anak dengan keterampilan hidup memiliki semua roda gigi untuk menjadi seorang Pemimpin.

0 komentar:

Posting Komentar